Skip to content

Pertemuan 3.0 : Melejitkan Kreativitas Kolektif

Orang Indonesia kreatif? Banyak. Bangsa Indonesia kreatif? Tunggu dulu. Kita masih perlu belajar melejitkan kreativitas kolektif kita. 

Menjadi orang kreatif itu satu hal. Menjadi organisasi atau bangsa kreatif itu hal lain lagi. Itulah kesimpulan yang aku lihat dari berbagai organisasi dan pertemuan. Ada banyak orang kreatif, tapi ketika berkumpul tidak otomatis menjadi organisasi yang kreatif. Ketika terjadi perjumpaan antar orang kreatif, justru yang terjadi seringkali adalah orang kreatif yang satu menafikkan potensi kreativitas orang lain. Bukan karena sengaja atau niat jahat, tapi seringkali karena format pertemuannya.

Kebanyakan yang terjadi adalah pertemuan 1.0, satu orang berbicara sementara banyak orang harus diam mendengarkannya. Aliran informasinya terlihat jelas dari satu sumber ke banyak penerima. Seorang pembicara itu mendapat otoritas untuk berbagi informasi kepada yang lain.

Dialog Penemuan, Menemukan Kisah Pengalaman Terbaik

Ada banyak penyakit yang menjangkiti format pertemuan 1.0 ini. Pertama, informasi yang disampaikan kebanyakan hanya bersifat opini, yang belum tentu berpijak pada pengalaman nyata. Kedua, ada kebosanan ketika proses berlangsung lama. Ketiga, adanya penguasa informasi yang otoriter. Suara yang berbeda hanya menjadi kasak-kusuk pada saat jam istirahat. Keempat, kekurangan energi untuk membangkitkan tindakan yang inovatif. Tak heran bila banyak orang yang tidak suka ikut pertemuan atau rapat.

Oleh karena itu, beberapa organisasi mulai bergerak menemukan format yang lebih menarik. Aku menyebutnya sebagai Pertemuan 2.0, format yang memungkinkan banyak orang berbagi informasi dan banyak orang menyimaknya. Contoh dari pertemuan 2.0 ini adalah mimbar bebas pada Kopdar Blogger Nusantara. Setiap orang punya hak untuk berbicara di depan menyampaikan kisahnya.

Meski Pertemuan 2.0 memungkinkan setiap orang lebih bebas berekspresi sehingga terhindar dari beberapa penyakit pertemuan, tapi masih belum mengoptimalkan semua potensi yang ada. Ide-ide inovatifnya masih seperti pijaran api yang lepas begitu saja. Tidak ada relasi antar personal yang cukup kuat untuk mewadahi pijaran api tersebut.

Beberapa organisasi yang inovatif mulai menggunakan format Pertemuan 3.0. Apa itu? Pertemuan yang memungkinkan setiap orang menjadi pembicara sekaligus menjadi pendengar. Semua orang bicara, semua orang menyimak. Anggapan kebanyakan orang terhadap format ini adalah sesuatu kekacauan, mustahil dan tidak jelas. Padahal kenyataannya, telah ada praktek dan pengalaman yang membuktikannya.

Dialog Berpasangan, Menemukan Kembali Kisah Keberhasilan

Minggu kemarin, aku mendapat undangan untuk menjadi fasilitator pertemuan tahunan Departemen IT ASSA Rent. Sasaran pertemuan ini adalah membangun budaya pelayanan yang melampui harapan pengguna. Sebenarnya, pilihan untuk melakukan workshop ini adalah sebuah keberanian dari ASSA Rent yang patut diacungi jempol, keberanian untuk mencoba metode berbeda.

Awalnya banyak peserta yang beranggapan bahwa pertemuan akan seperti training tahun lalu, setiap orang harus menyimak dan menjalankan wejangan dari narasumber. Tapi anggapan itu buyar ketika mengikuti proses workshop, setiap orang bisa mengekspresikan idenya sekaligus tetap dalam suasana yang menyenangkan.

Sebagaimana pertemuan lain, aku memfasilitasi pertemuan ini dengan mengkombinasikan pendekatan Appreciative Inquiry dengan The World Cafe. Setiap orang mendialogkan cerita pengalaman terbaik, impian, aspirasi dan ide inovatif dengan cara-cara unik yang menyenangkan. Awalnya, dialog berdua untuk menemukan cerita personal yang kemudian disharingkan dalam kelompok dan kelas.

Setiap keunikan bisa ditemukan dan didengar sehingga bisa menjadi solusi inovatif untuk mewujudkan impian. Dalam workshop tersebut, peserta berbagi kisah dan impian sehingga menghasilkan komitmen untuk menindaklanjuti ide inovatif yang disepakati bersama. Semoga ide-ide inovatif tersebut dapat terwujud menjadi program kerja setahun ke depan yang menumbuhkan dan merawat budaya pelayanan pada pelanggan.

Memvisualisasikan Impian bersama

Berbagi Impian Masa Depan

Paduan The World Cafe & Appreciative Inquiry pernah dipraktekkan dalam pertemuan kecil maupun pertemuan besar yang melibatkan ribuan orang. Benar! Ribuan orang melakukan percakapan bersama secara dinamis, spirit kebersamaan, kaya gagasan segar dan tentu saja menyenangkan.

The World Cafe Conversation adalah percakapan yang bermakna, metode yang mengakses kecerdasan kolektif untuk membentuk masa depan bersama. Dalam webnya, disebutkan ada 8 prinsip The World Cafe, yaitu:

  1. Set the Context. Rancang tujuan mengapa orang perlu berkumpul dan melakukan percakapan yang bermakna. Setiap orang perlu mamahami mengapa mereka ada dalam sebuah ruangan.
  2. Create Hospitable Space. Ciptakan suasana nyaman yang memungkinkan setiap orang bicara bebas mengekspresikan ide kreatif mereka
  3. Explore Questions that Matter. Eksplorasi pertanyaan yang bermakna terkait dengan topik percakapan. Pertanyaan yang bermakna akan memancing energi positif setiap orang.
  4. Encourage Everyone’s Contribution. Bangkitkan kontribusi setiap orang untuk terlibat dalam percakapan. Setiap suara adalah sama berharganya.
  5. Connect Diverse Perspectives. Praktek berpindah dari meja percakapan ke meja percakapan yang lain memungkinkan orang menemui gagasan baru dan pandangan yang berbeda.
  6. Listen together for Patterns and Insights. Ajak setiap orang menyimak percakapan untuk menemukan pola dan inspirasi.
  7. Share Collective Discoveries. Berbagi temuan bersama tentang ide kreatif, pengalaman terbaik, aspirasi dan inspirasi kepada semua orang.

Metode pelaksanaan The World Cafe praktis dan fleksibel. Setiap fasilitator bisa mendesain pelaksanaannya selama mengacu pada 7 prinsip tersebut. Langkah dasarnya adalah sebagai berikut:

  1. Penciptaan suasana cafe. Suasana ruangan tidak boleh formal dan dingin. Ciptakan suasana ruangan yang hangat, personal, kreatif. Simpelnya, ciptakan suasana cafe.
  2. Penjelasan. Awalnya perlu menjelaskan pada peserta tentang metode dan bagaimana metode ini bisa mengantarkan pada hasil yang diharapkan.
  3. Pengajuan pertanyaan. Fasilitator menyiapkan serangkaian pertanyaan yang bermakna. Pertanyaan ini biasanya ditampilkan satu per satu seiring dengan pergerakan putaran percakapan kelompok kecil.
  4. Putaran percakapan kelompok kecil. Awalnya, setiap orang bergabung pada sebuah kelompok kecil untuk berbagi jawaban terhadap sebuah pertanyaan yang diajukan fasilitator. Setelah itu, setiap orang berpindah ke meja yang lain untuk melakukan percakapan dengan pertanyaan yang sama atau pertanyaan yang berbeda. Berpindah terus hingga pertanyaan selesai.
  5. Hasil temuan. Ketika menyimak sharing dari orang lain, peserta bisa membuat catatan kecil. Pencatatan awal dilakukan di kertas yang menjadi taplak/alas meja. Setelah itu, kelompok akan mencatat inspirasi yang mereka dapatkan secara unik. Aku paling suka dengan cara meminta peserta mengubah lirik lagu sesuai dengan hasil temuan.

Sampai saat ini, banyak inovator sosial yang terus mempraktekkan Pertemuan 3.0 pada berbagai komunitas. Baca disini dan disini. Aku sendiri sudah menawarkan gagasan ini ke berbagai pihak tapi sejauh ini masih belum ada realisasinya untuk pertemuan skala besar. Semoga posting ini bisa menginspirasi lebih banyak pihak untuk memanusiakan pertemuan dalam komunitasnya.

Ada yang tertarik mencoba mempraktekkan pada komunitasnya? 

Klik untuk Langganan Bukik.com via Email

Unduh buku-e gratis : Appreciative Inquiry 

30 Comments Post a comment
  1. elrijo #

    saya temukan website ini saat lagi mencari apa sih sebenarnya appreciative inquiry ini….ternyata ditemukan di Bukik…..tapi ternyata cerita-cerita lainnya juga sangat inspiratif…terima kasih ya atas pengalaman2 yang disharingkan..

    15/03/2012
  2. Sepertinya saya harus mencoba untuk komunitas blogger Jogja 😀

    03/11/2011
  3. Waaah inspiratif dan Sueger idenya cak…boleh!

    02/11/2011
  4. ternyata ada ya? Hmmm..
    Maaf ndak tahu sebelumnya hehe

    02/11/2011
    • Masih baru dan langka kok di Indonesia

      02/11/2011
  5. Set the context, banyak orang memang tak menyadar untuk apa mereka berada diruang pertemuan. Atau lebih tepatnya menimbulkan ‘pamor’ ketimbang berbagi 🙂

    02/11/2011
    • Yup. Biasanya pengelola/pemimpin pertemuan sudah menganggap semuanya tahu atau kalau pun dijelaskan hanya singkat dan seperlunya. Padahal awal adalah kunci

      02/11/2011
  6. Setuju banget, metode ini bahkan bisa merubah beban menjadi hiburan.

    Segera sy praktikkan di organisasi sy. 🙂

    01/11/2011
    • Sharing dan posting ya kalau sudah dipraktekkan……

      02/11/2011
  7. anugrha13 #

    Wah hebat idenya om 🙂 bisa juga mengadopsi buat arumbai -blogger ambon-
    Tapi kayaknya harus privat dl ya hehe

    01/11/2011
    • Yuuuk…..
      Ditunggu undangannya *eh

      02/11/2011
  8. Ndak kebayang kalau nanti ada Pertemuan 4.0, Pertemuan 5.0 dan seterusnya…

    01/11/2011
    • Ketika tidak terbayang, disitulah ruang-ruang bermain imajinasi kita. Ruang yang tak terjangkau oleh pengetahuan. Dan bukankah, setiap kemajuan berawal dari imajinasi?

      01/11/2011
  9. Waduh belom ada bayangan gambaran deh gmn cara mempraktekkannya..

    01/11/2011
    • Sudah aku tambahkan di postingan penjelasan tentang prakteknya. Semoga lebih jelas. terima kasih

      01/11/2011
  10. wahyu asyari m #

    pertemuan 2.0 kayak kopdar 😀
    hihi, menarik.

    01/11/2011
  11. DV #

    Ini komentar agak OOT, tapi sumprit, ini tercetus dari tulisan ini 🙂
    Begini, kenapa ya kita selalu tunduk pada angka? Seolah kita senang kalau pake angka untuk memaparkan sesuatu… pertemuan pun pake angka untuk menyatakan diferensiasi jenisnya 😀

    01/11/2011
    • Hehehe dalam kasus ini, aku menggunakan ketertundukan itu untuk memudahkan mengingat.

      01/11/2011
  12. jk #

    pertemuan 3.0 itu mirip semacam diskusi grup gitu ya mas bukik? masih kurang paham nih

    31/10/2011
    • Diskusi grup atau FGD hanya dilakukan pada kelompok kecil, sementara ini pada kelompok kecil maupun besar. Penjelasan sudah aku tambahkan di postingan.

      01/11/2011
  13. wibisono #

    kayaknya lebih mirip Focus group discussion (FGD) dan brainstorming ya kak bukik.. Cuma yang jadi masalah, orang indonesia itu kayaknya pemalu-pemalu.. belum bisa menumbuhkan gaya berbicara.. 😀

    31/10/2011
    • Apa yang kuceritakan di posting ini gak hanya terjadi di Indonesia kok. Masyarakat banyak negara juga mengalami hal yang sama. Cek video youtube yang menunjukkan di barat pun mereka masih tahapan mempromosikan
      Kalau menilik dari budaya, justru bangsa Indonesia kuat pada tradisi lisan/tuturnya

      31/10/2011
  14. Thx om Bukik atas fasiltasi nya 🙂

    31/10/2011
  15. orang indonesia memang harus kreatif

    31/10/2011

Trackbacks & Pingbacks

  1. @ASEANBlogger : Kelas Memasak itu Penting ! #ABFI2013 | #timpakul
  2. Mengapa organisasi membutuhkan seorang fasilitator? | Bukik Ideas
  3. Mengapa Training Motivasi Itu Seperti Berakhir Pekan? | Bukik Ideas
  4. Andai Aku Menjadi Ketua KPK, Dunia Pasti Tertawa | Bukik Ideas
  5. Asset-Based Community Development: Kreativitas di Tumpukan Persoalan | Bukik Ideas
  6. Kopdar Blogger Nusantara: Menumbuhkan Jiwa Persaudaraan | bukik ideas

Leave a reply to DV Cancel reply